SALAH SATU TEMPAT ISTIMEWA YANG ADA DI BANJAR WATI

SALAH SATU TEMPAT ISTIMEWA YANG ADA DI BANJAR WATI


SALAH SATU TEMPAT ISTIMEWA YANG ADA DI BANJAR WATI
Pondok Pesantren Sunan Drajat adalah salah satu pondok pesantren yang memiliki nilai historis yang amat panjang karena keberadaan pesantren ini tak lepas dari nama yang disandangnya, yakni Sunan Drajat. Sunan Drajat adalah julukan dari Raden Qosim putra kedua pasangan Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dengan Nyi Ageng Manila (Putri Adipati Tuban Arya Teja). Dia juga memiliki nama Syarifuddin atau Masih Ma’unat.
Perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar dimulai tatkala dia diutus ayahandanya untuk membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu guna mengembangkan syiar Islam didaerah pesisir pantai utara Kabupaten Lamongan saat ini.
Pada tahun 1440-an ada seorang pelaut muslim asal Banjar yang mengalami musibah di pesisir pantai utara, kapal yang ditumpanginya pecah terbentur karang dan karam di laut. Adapun Sang Pelaut Banjar terdampar di tepian pantai Jelaq dan ditolong oleh Mbah Mayang Madu penguasa kampung Jelaq pada saat itu.
Melihat kondisi masyarakat Jelaq yang telah terseret sedemikian jauh dalam kesesatan, Sang Pelaut muslim itu pun terketuk hatinya untuk menegakkan sendi-sendi agama Allah. Dia pun mulai berdakwah dan mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Jelaq dan sekitarnya. Lambat-laun perjuangan Sang Pelaut yang kemudian hari lebih dikenal dengan Mbah Banjar, mulai membuahkan hasil. Apa lagi bersamaan dengan itu Mbah Mayang Madu pun turut menyatakan diri masuk Islam dan menjadi penyokong utama perjuangan Mbah Banjar.

 
ada suatu hari, Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu berkeinginan untuk mendirikan tempat pengajaran dan pendidikan agama agar syiar Islam semakin berkembang, namun mereka menemui kendala dikarenakan masih kurangnya tenaga edukatif yang mumpuni di bidang ilmu diniyah. Akhirnya mereka pun sepakat untuk sowan menghadap Kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya. Gayung pun bersambut Kanjeng Sunan Ampel memberikan restu dengan mengutus putranya Raden Qosim untuk turut serta membantu perjuangan kedua tokoh tersebut. Akhirnya Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di suatu petak tanah yang terletak di areal Pondok Pesantren putri Sunan Drajat saat ini.
Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara itu untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar, maka dusun yang sebelumnya bernama kampung Jelaq, dirubah namanya menjadi Banjaranyar untuk mengabadikan nama Mbah Banjar dan anyar sebagai suasana baru di bawah sinar petunjuk Islam.
Sunan Drajat yang merupakan putra sunan ampel menjadi tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam yang ada di wilayah Lamongan. Raden Qosim atau Sunan Drajat mendirikan pondok pesantren di suatu petak tanah, terletak di areal Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat saat ini. Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat.
Setelah beberapa lama dia berdakwah di Banjaranyar, maka Raden Qosim mengembangkan daerah dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pondok pesantren yang baru di kampung Sentono. Dia berjuang hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di belakang masjid tersebut. Kampung di mana dia mendirikan masjid dan pondok pesantren itu akhirnya dinamakan pula sebagai Desa Drajat. Sepeninggalan Sunan Drajat, tongkat estafet perjuangan dilanjutkan oleh anak cucu dia. Namun seiring dengan perjalanan waktu yang cukup panjang kebesaran nama Pondok Pesantren Sunan Drajat pun semakin pudar dan akhirnya lenyap ditelan masa. Saat itu hanyalah tinggal sumur tua yang tertimbun tanah dan pondasi bekas langgar yang tersisa. Kemaksiatan dan perjudian merajalela di sekitar wilayah Banjaranyar dan sekitarnya, bahkan areal di mana Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di Banjaranyar saat itu berubah menjadi tempat pemujaan.
Setelah mengalami proses kemunduran, bahkan sempat menghilang dari percaturan dunia Islam di Pulau Jawa, pada akhirnya Pondok Pesantren Sunan Drajat kembali menata diri dan menatap masa depannya dengan rasa optimis dan tekat yang kuat. Hal ini bermula dari upaya yang dilakukan oleh anak cucu Sunan Drajat yang bercita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar. Keadaan itu pun berangsur-angsur pulih kembali saat di tempat yang sama didirikan Pondok Pesantren Sunan Drajat oleh KH. Abdul Ghofur yang masih termasuk salah seorang keturunan Sunan Drajat pada tahun 1977 yang bertujuan untuk melanjutkan perjuangan wali songo dalam mengagungkan syiar agama Allah di muka bumi.
Munculnya kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat saat ini tentu tidak terlepas dari perjalanan panjang dan perjuangan anak cucu Sunan Drajat itu sendiri. Sebagai institusi resmi dan legal, Pondok Pesantren Sunan Drajat tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan cikal bakal berdirinya pondok pesantren itu sendiri.
Di sisi lain di dalam Pondok Pesantren Sunan Drajat terdapat pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal, non formal dan in formal. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua pondok pesantren memiliki pendidikan yang mengajarkan tentang pengetahuan dan keahlian/skill secara intensif terhadap santrinya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang akademisi untuk mempelajari kembali ide-ide dasar yang muncul dan menyertai perkembangan Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Ada dua versi cerita tentang kehadiran R.Qasim di Banjar anyar yang dahulu bernama Jelak. Versi pertama menyebutkan bahwa sebelum R.Qasim datang di sini, telah datang santri Sunan Ampel di Banjaranyar dengan naik perahu, tetapi di utara perkampungan Jelak perahunya pecah oleh ombak dan ia terdampar di pantai Jelak. Ia ditolong oleh tetua Kampung Jelak, bernama Mbah2 Mayang Madu yang masih beragama Hindu. Atas seruan santri Ngampel yang di kemudian hari oleh masyarakat dipanggil Mbah Banjar, Mayang Madu bersedia memeluk agama Islam, kemudian keduanya mendirikan langgar.Keduanya bermaksud mendirikan pondok (pesantren) tetapi tidak ada pengasuh yang cakap, lalu Mbah Banjar mengajak Mbah Mayang Madu pergi ke Ngampel untuk meminta tenaga pengajar tersebut. Sunan Ampel kemudian mengutus puteranya yang bernama R.Qasim untuk mengajar masyarakat perkampungan Jelak dan sekitarnya.
Versi kedua menyebutkan bahwa R. Qasim, telah putus kajinya tentang agama Islam dan dinilai mampu untuk mengajarkannya kepada orang lain, diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk mencari tempat di pesisir utara Qresik dan Tuban. R.Qasim dari Surabaya naik perahu nelayan ke arah barat ditemani oleh lima orang nelayan. Di tengah Perjalanan perahu tersebut diterpa ombak besar, sehingga pecah dan para numpangnya terlempar ke laut. R.Qasim juga terlempar ke laut tetapi beruntung karena pada waktu itu sedang memegang dayung. Dengan dayung itu ia mampu mengambang di atas air. Pertolongan Allah datang; ia dibantu oleh ikan cucut dan ikan talang.6 Dengan bantuan ikan cucut dan ikan talang tersebut, R.Qasim selamat sampai di pantai Jelak, ia ditolong oleh tetua perkampungan nelayan Jelak.
Tentang pemilihan tempat di Jelak dan Drajat, terdapat dua versi. Versi pertama, atas permintaan Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar kepada Sunan Ampel, dan versi kedua karena kebetulan perahu R.Qasim pecah dihempas ombak, R.Qasim terdampar di Jelak.
Dua versi cerita tersebut di atas, sebenarnya tidak perlu dibicarakan. Untuk kepentingan umum yang lebih besar tidak terlihat adanya signifikansi di dalamnya; tetapi sekedar untuk mendudukkan persoalannya dalam proporsi sejarah, setidak-tidaknya untuk mengetahui cerita yang mana yang mendekati ‘kebenaran’, akan dicoba untuk ditelaah.
Dua buah naskah lama memberitakan : “Den Qasim nulya pinernah dadi imam kang pinuji, ing Lamongan lan Sedayu, Derajat dukuhaneki.,f) (R.Qasim kemudian ditugaskan menjadi imam yang terhormat di Lamongan dan Sedayu, dan Drajat sebagai tempat tinggalnya). Dari kata “pinernah dadi imam”, dapat dipahami bahwa Sunan Drajat memang sengaja oleh Sunan Ampel ditugaskan pada suatu tempat yang dipilih untuk menjadi imam. Tugas menjadi imam artinya di tempat itu sudah ada jama’ah atau komunitas muslim. Kedua naskah tersebut jelas menyebutkan kehadiran R.Qasim di Jelak terus ke Drajat itu tidak atas kehendaknya sendiri apalagi hanya sekedar kebetulan karena musibah perahu pecah.
R.Qasim bertempat tinggal di Kampung Jelak selama lebih kurang tujuh tahun, diikuti oleh lima orang nelayan yang telah bertaubat dan bersedia menjadi pengikut, pembantu, dan santrinya. Di sana ia mendirikan langgar (mushalla) sebagai tempat ibadah salat dan tempat anak-anak serta orang dewasa belajar mengaji al-Qur’an dan agama Islam.
Jelak yang semula hanya berupa perkampungan kecil tempat tinggal para nelayan, makin lama makin ramai karena banyak santri dan pendatang yang menetap, kemudian l^rubah menjadi dusun yang diberi nama Banjaranyar (Banjar yang baru atau perkampungan yang baru), sekarang menjadi salah satu dusun dari Desa Banjarwati. Di Banjaranyar ini tetua dusun Mayang Madu dan Mbah Banjar mendirikan masjid yang kemudian dikenal sebagai .masjid Gendingan.
Sebidang tanah yang dulu ditempati R.Qasim dan yang sekarang ditempati salah seorang keturunan Sunan Drajat dari isteri Mbah Kinanti, yaitu Sofiyatun isteri Farhan ( Sekretaris Desa Paloh ), dapat menjadi sisik-melik yakni salah satu pegangan awal untuk merunut keberadaan R.Qasim atau Sunan Drajat di tempat ini. Sisik-melik (jejak awal) sejarah tersebut menjadi lebih kuat dengan adanya pintu kecil yang masih dilestarikan karena alasan magis dan kekeramatan tokoh yang bersangkutan. Selain itu sisik-melik sejarah juga diperkuat dengan adanya makam yang diyakini oleh masyarakat di desa sebagai itu makam Mbah Mayang Madu. Legenda yang berkenaan langsung itu an R.Qasim tersebut yang didukung oleh bukti-bukti peninggalan yang asih ada, memberi petunjuk bahwa keberadaannya di Banjarwati dapat ? percaya dan bukan sesuatu yang fiktif.
Ricklefs lebih jauh mengungkapkan bahwa untuk dapat menjawab ertanyaan-pertanyaan tentang awal penyebaran Islam di Indonesia, ada kemungkinan orang akan berpaling dari sumber-sumber sejarah primer kepada 1 genda-legenda Indonesia yang mencatat bagaimana penduduk Indonesia sendiri menceritakan kisah pengislaman mereka. Semua legenda itu baru muncul lama sesudah kedatangan Islam. Legenda-legenda tentang cerita-cerita kuna itu baru muncul sekitar abad ke-18 dan ke-19. Legenda-legenda itu sekalipun bukanlah catatan-catatan sejarah yang sepenuhnya dapat dipercaya, tetapi karena adanya titik berat yang merata atau kesamaan yang kuat dari para penyebar Islam yang pertama dengan peran-peran yang dimainkannya lewat pengetahuan gaib dan kekuatan-kekuatan magis, serta koneksitas pedagang- ulama pada proses pengislaman (a process of conversion), maka legenda-leganda itu dapat mengungkapkan (reveal) suatu kejadian yang sebenarnya.12
Legenda berupa dongeng yang sering mengandung maksud atau suatu peristiwa tertentu tetapi umumnya terselubung atau tersamar, maka untuk memahaminya terkadang diperlukan interpretasi-interpretasi tertentu.

Makna Legenda dan Perlambang
R.Qasim pertama kali datang dan menetap di Jelak, kemudian pindah ke Desa Drajat sekarang. Waktu membuka hutan, R. Qasim selain dibantu oleh Mbah Banjar dan para pengikut- pengikutnya konon juga dibantu secara spiritual oleh Sunan Giri. Bantuan spiritual sangat diperlukan waktu itu sebab kawasan hutan yang dibabat itu boleh jadi masih sangar dan wingit yang dipercaya, “berhawa panas” dan banyak gangguan makhluk-makhluk halus, menakutkan karena dapat mendatangkan bala bencana.
Sambil menunggu pembukaan hutan selesai, lebih kurang tiga tahun Sunan Drajat bertempat tinggal di lokasi yang sekarang menjadi Balai Desa Drajat yang terletak di bagian utara desa. Di tempat ini masih tersisa umpak yakni fondasi langgar tempat Sunan Drajat mengajar mengaji.
Setelah pembukaan hutan selesai, atas petunjuk Sunan Giri dan Mbah Banjar , R.Qasim yang kemudian bergelar Sunan Drajat memilih tempat yang sekarang termasuk kompleks makam. Tempat-ini berada di ujung tanah perbukitan paling selatan.
Tempat yang dipilih untuk rumah tempat tinggal atau padepokan beliau yang disebut ndalem dhuwur terletak di sebelah timur museum sekarang. Tempat ini sepeninggal beliau tetap kosong, tidak didirikan bangunan apapun. Tempat ini oleh anak cucunya dan masyarakat Drajat dianggap keramat. Tidak ada yang berani menempati atau mendirikan bangunan di atasnya, tetapi bila musim penghujan tanah bekas ndalem tersebut bisa ditanami jagung atau palawija.
Sebelum menetap di Drajat, R. Qosim menetap di Jelak (sebelah utaranya) selama tiga tahun. Dan menurut tradisi lisan, bahwa padepokan atau rumah tempat tinggal Sunan Drajat menghadap ke selatan, begitu pula rumah-rumah para putera dan rumah Pangeran Kepel, pendamping utamanya. Di mukanya arah ke selatan dan terletak di bawah bukit, dulu terdapat jajaran rumah yang disebut ndalem sentana (kerabat dan pelaksana pemerintahan Desa Perdikan), di sebelah barat ada rumah-rumah yang dulu disebut ndalem kaprajuritan atau rumah para prajurit penjaga keamanan. Dari tempat itu yang letaknya cukup tinggi dan pandangan diarahkan ke selatan, pandangan akan terasa indah dan menjangkau wilayah pandang yang luas atau jauh ke bawah. Sunan Drajat memilih tempat tinggal di situ dan padepokannya menghadap ke selatan, itu dibuktikan dengan adanya batu gilang sebagai alas tlundakan yang ada di bagian selatan.14 Tetapi mengapa menghadap ke selatan, padahal masjid ada di sebelah barat.
Secara tradisional, struktur perkampungan di Jawa Timur tempo dulu, umumnya memanjang dari timur ke barat dan rumah-rumah berbanjar menghadap ke utara dan selatan, amat jarang ada rumah mengadap ke timur atau barat. Apakah itu semua karena faktor kepercayaan pra-Islam yang masih bertahan15 ataukah hanya karena faktor alir angin atau faktor sinar matahari, belum diperoleh data yang sahih.
Rumah tempat tinggal Sunan Drajat diduga menghadap ke arah selatan, boleh jadi bukan karena faktor kepercayaan pra-Islam tersebut, melainkan untuk menghindari angin laut yang terlalu kuat dan sebaliknya menghadang angin dari darat yang lebih segar dan relatif konstan serta pemandangan lembah yang indah atau karena alasan keamanan, mungkin juga atau faktor lainnya.
Apabila sumber lisan dari Cirebon yang menuturkan bahwa Sunan Drajat bersama Sipat Lurung adalah tukang yang didatangkan oleh Sunan Gunung Jati untuk membangun masjid Agung (Kasepuhan) Cirebon itu benar, maka pemilihan tempat untuk padepokan Sunan Drajat dengan pintu yang menghadap ke arah selatan tersebut, dapat diduga bahwa memang dengan perhitungan dan dengan maksud .tertentu. Rumah tempat tinggal Sunan tersebut dibangun setidak-tidaknya dengan maksud agar hidup beliau sekeluarga senantiasa segar, sehat, dan resep (indah), dan aman.
Sunan Drajat mendirikan masjid agak jauh di sebelah barat rumah tempat tinggalnya agak ke utara. Beliau juga membuat sumur persegi empat di sebelah utara masjid. Masjid tidak hanya tempat melaksanakan salat berjama’ah, melainkan juga tempat mengajarkan agama Islam kepada para santri, sekaligus sebagai tempat menginap mereka. Sedangkan . sumur sebagai sarana kehidupan yang sangat vital dan prasarana ibadah-salat. Masjid dan sumur menjadi syarat terwujudnya perkampungan santri. Rumah Sunan Drajat dan masjidnya relatif dekat tidak sama dengan pola letak rumah dan masjid kompleks Sunan Giri dan Bonang yang mengikuti pola Candi Penataran di Blitar.


Pondok Pesantren Sunan Drajat adalah salah satu pondok pesantren yang memiliki nilai historis yang amat panjang karena keberadaan pesantren ini tak lepas dari nama yang disandangnya, yakni Sunan Drajat. Sunan Drajat adalah julukan dari Raden Qosim putra kedua pasangan Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dengan Nyi Ageng Manila (Putri Adipati Tuban Arya Teja). Dia juga memiliki nama Syarifuddin atau Masih Ma’unat.
Perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar dimulai tatkala dia diutus ayahandanya untuk membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu guna mengembangkan syiar Islam didaerah pesisir pantai utara Kabupaten Lamongan saat ini.
Pada tahun 1440-an ada seorang pelaut muslim asal Banjar yang mengalami musibah di pesisir pantai utara, kapal yang ditumpanginya pecah terbentur karang dan karam di laut. Adapun Sang Pelaut Banjar terdampar di tepian pantai Jelaq dan ditolong oleh Mbah Mayang Madu penguasa kampung Jelaq pada saat itu.
Melihat kondisi masyarakat Jelaq yang telah terseret sedemikian jauh dalam kesesatan, Sang Pelaut muslim itu pun terketuk hatinya untuk menegakkan sendi-sendi agama Allah. Dia pun mulai berdakwah dan mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Jelaq dan sekitarnya. Lambat-laun perjuangan Sang Pelaut yang kemudian hari lebih dikenal dengan Mbah Banjar, mulai membuahkan hasil. Apa lagi bersamaan dengan itu Mbah Mayang Madu pun turut menyatakan diri masuk Islam dan menjadi penyokong utama perjuangan Mbah Banjar.
ada suatu hari, Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu berkeinginan untuk mendirikan tempat pengajaran dan pendidikan agama agar syiar Islam semakin berkembang, namun mereka menemui kendala dikarenakan masih kurangnya tenaga edukatif yang mumpuni di bidang ilmu diniyah. Akhirnya mereka pun sepakat untuk sowan menghadap Kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya. Gayung pun bersambut Kanjeng Sunan Ampel memberikan restu dengan mengutus putranya Raden Qosim untuk turut serta membantu perjuangan kedua tokoh tersebut. Akhirnya Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di suatu petak tanah yang terletak di areal Pondok Pesantren putri Sunan Drajat saat ini.
Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara itu untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar, maka dusun yang sebelumnya bernama kampung Jelaq, dirubah namanya menjadi Banjaranyar untuk mengabadikan nama Mbah Banjar dan anyar sebagai suasana baru di bawah sinar petunjuk Islam.
Sunan Drajat yang merupakan putra sunan ampel menjadi tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam yang ada di wilayah Lamongan. Raden Qosim atau Sunan Drajat mendirikan pondok pesantren di suatu petak tanah, terletak di areal Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat saat ini. Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat.
Setelah beberapa lama dia berdakwah di Banjaranyar, maka Raden Qosim mengembangkan daerah dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pondok pesantren yang baru di kampung Sentono. Dia berjuang hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di belakang masjid tersebut. Kampung di mana dia mendirikan masjid dan pondok pesantren itu akhirnya dinamakan pula sebagai Desa Drajat. Sepeninggalan Sunan Drajat, tongkat estafet perjuangan dilanjutkan oleh anak cucu dia. Namun seiring dengan perjalanan waktu yang cukup panjang kebesaran nama Pondok Pesantren Sunan Drajat pun semakin pudar dan akhirnya lenyap ditelan masa. Saat itu hanyalah tinggal sumur tua yang tertimbun tanah dan pondasi bekas langgar yang tersisa. Kemaksiatan dan perjudian merajalela di sekitar wilayah Banjaranyar dan sekitarnya, bahkan areal di mana Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di Banjaranyar saat itu berubah menjadi tempat pemujaan.
Setelah mengalami proses kemunduran, bahkan sempat menghilang dari percaturan dunia Islam di Pulau Jawa, pada akhirnya Pondok Pesantren Sunan Drajat kembali menata diri dan menatap masa depannya dengan rasa optimis dan tekat yang kuat. Hal ini bermula dari upaya yang dilakukan oleh anak cucu Sunan Drajat yang bercita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar. Keadaan itu pun berangsur-angsur pulih kembali saat di tempat yang sama didirikan Pondok Pesantren Sunan Drajat oleh KH. Abdul Ghofur yang masih termasuk salah seorang keturunan Sunan Drajat pada tahun 1977 yang bertujuan untuk melanjutkan perjuangan wali songo dalam mengagungkan syiar agama Allah di muka bumi.
Munculnya kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat saat ini tentu tidak terlepas dari perjalanan panjang dan perjuangan anak cucu Sunan Drajat itu sendiri. Sebagai institusi resmi dan legal, Pondok Pesantren Sunan Drajat tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan cikal bakal berdirinya pondok pesantren itu sendiri.
Di sisi lain di dalam Pondok Pesantren Sunan Drajat terdapat pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal, non formal dan in formal. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua pondok pesantren memiliki pendidikan yang mengajarkan tentang pengetahuan dan keahlian/skill secara intensif terhadap santrinya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang akademisi untuk mempelajari kembali ide-ide dasar yang muncul dan menyertai perkembangan Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Ada dua versi cerita tentang kehadiran R.Qasim di Banjar anyar yang dahulu bernama Jelak. Versi pertama menyebutkan bahwa sebelum R.Qasim datang di sini, telah datang santri Sunan Ampel di Banjaranyar dengan naik perahu, tetapi di utara perkampungan Jelak perahunya pecah oleh ombak dan ia terdampar di pantai Jelak. Ia ditolong oleh tetua Kampung Jelak, bernama Mbah2 Mayang Madu yang masih beragama Hindu. Atas seruan santri Ngampel yang di kemudian hari oleh masyarakat dipanggil Mbah Banjar, Mayang Madu bersedia memeluk agama Islam, kemudian keduanya mendirikan langgar.Keduanya bermaksud mendirikan pondok (pesantren) tetapi tidak ada pengasuh yang cakap, lalu Mbah Banjar mengajak Mbah Mayang Madu pergi ke Ngampel untuk meminta tenaga pengajar tersebut. Sunan Ampel kemudian mengutus puteranya yang bernama R.Qasim untuk mengajar masyarakat perkampungan Jelak dan sekitarnya.
Versi kedua menyebutkan bahwa R. Qasim, telah putus kajinya tentang agama Islam dan dinilai mampu untuk mengajarkannya kepada orang lain, diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk mencari tempat di pesisir utara Qresik dan Tuban. R.Qasim dari Surabaya naik perahu nelayan ke arah barat ditemani oleh lima orang nelayan. Di tengah Perjalanan perahu tersebut diterpa ombak besar, sehingga pecah dan para numpangnya terlempar ke laut. R.Qasim juga terlempar ke laut tetapi beruntung karena pada waktu itu sedang memegang dayung. Dengan dayung itu ia mampu mengambang di atas air. Pertolongan Allah datang; ia dibantu oleh ikan cucut dan ikan talang.6 Dengan bantuan ikan cucut dan ikan talang tersebut, R.Qasim selamat sampai di pantai Jelak, ia ditolong oleh tetua perkampungan nelayan Jelak.
Tentang pemilihan tempat di Jelak dan Drajat, terdapat dua versi. Versi pertama, atas permintaan Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar kepada Sunan Ampel, dan versi kedua karena kebetulan perahu R.Qasim pecah dihempas ombak, R.Qasim terdampar di Jelak.
Dua versi cerita tersebut di atas, sebenarnya tidak perlu dibicarakan. Untuk kepentingan umum yang lebih besar tidak terlihat adanya signifikansi di dalamnya; tetapi sekedar untuk mendudukkan persoalannya dalam proporsi sejarah, setidak-tidaknya untuk mengetahui cerita yang mana yang mendekati ‘kebenaran’, akan dicoba untuk ditelaah.
Dua buah naskah lama memberitakan : “Den Qasim nulya pinernah dadi imam kang pinuji, ing Lamongan lan Sedayu, Derajat dukuhaneki.,f) (R.Qasim kemudian ditugaskan menjadi imam yang terhormat di Lamongan dan Sedayu, dan Drajat sebagai tempat tinggalnya). Dari kata “pinernah dadi imam”, dapat dipahami bahwa Sunan Drajat memang sengaja oleh Sunan Ampel ditugaskan pada suatu tempat yang dipilih untuk menjadi imam. Tugas menjadi imam artinya di tempat itu sudah ada jama’ah atau komunitas muslim. Kedua naskah tersebut jelas menyebutkan kehadiran R.Qasim di Jelak terus ke Drajat itu tidak atas kehendaknya sendiri apalagi hanya sekedar kebetulan karena musibah perahu pecah.
R.Qasim bertempat tinggal di Kampung Jelak selama lebih kurang tujuh tahun, diikuti oleh lima orang nelayan yang telah bertaubat dan bersedia menjadi pengikut, pembantu, dan santrinya. Di sana ia mendirikan langgar (mushalla) sebagai tempat ibadah salat dan tempat anak-anak serta orang dewasa belajar mengaji al-Qur’an dan agama Islam.
Jelak yang semula hanya berupa perkampungan kecil tempat tinggal para nelayan, makin lama makin ramai karena banyak santri dan pendatang yang menetap, kemudian l^rubah menjadi dusun yang diberi nama Banjaranyar (Banjar yang baru atau perkampungan yang baru), sekarang menjadi salah satu dusun dari Desa Banjarwati. Di Banjaranyar ini tetua dusun Mayang Madu dan Mbah Banjar mendirikan masjid yang kemudian dikenal sebagai .masjid Gendingan.
Sebidang tanah yang dulu ditempati R.Qasim dan yang sekarang ditempati salah seorang keturunan Sunan Drajat dari isteri Mbah Kinanti, yaitu Sofiyatun isteri Farhan ( Sekretaris Desa Paloh ), dapat menjadi sisik-melik yakni salah satu pegangan awal untuk merunut keberadaan R.Qasim atau Sunan Drajat di tempat ini. Sisik-melik (jejak awal) sejarah tersebut menjadi lebih kuat dengan adanya pintu kecil yang masih dilestarikan karena alasan magis dan kekeramatan tokoh yang bersangkutan. Selain itu sisik-melik sejarah juga diperkuat dengan adanya makam yang diyakini oleh masyarakat di desa sebagai itu makam Mbah Mayang Madu. Legenda yang berkenaan langsung itu an R.Qasim tersebut yang didukung oleh bukti-bukti peninggalan yang asih ada, memberi petunjuk bahwa keberadaannya di Banjarwati dapat ? percaya dan bukan sesuatu yang fiktif.
Ricklefs lebih jauh mengungkapkan bahwa untuk dapat menjawab ertanyaan-pertanyaan tentang awal penyebaran Islam di Indonesia, ada kemungkinan orang akan berpaling dari sumber-sumber sejarah primer kepada 1 genda-legenda Indonesia yang mencatat bagaimana penduduk Indonesia sendiri menceritakan kisah pengislaman mereka. Semua legenda itu baru muncul lama sesudah kedatangan Islam. Legenda-legenda tentang cerita-cerita kuna itu baru muncul sekitar abad ke-18 dan ke-19. Legenda-legenda itu sekalipun bukanlah catatan-catatan sejarah yang sepenuhnya dapat dipercaya, tetapi karena adanya titik berat yang merata atau kesamaan yang kuat dari para penyebar Islam yang pertama dengan peran-peran yang dimainkannya lewat pengetahuan gaib dan kekuatan-kekuatan magis, serta koneksitas pedagang- ulama pada proses pengislaman (a process of conversion), maka legenda-leganda itu dapat mengungkapkan (reveal) suatu kejadian yang sebenarnya.12
Legenda berupa dongeng yang sering mengandung maksud atau suatu peristiwa tertentu tetapi umumnya terselubung atau tersamar, maka untuk memahaminya terkadang diperlukan interpretasi-interpretasi tertentu.

Makna Legenda dan Perlambang
R.Qasim pertama kali datang dan menetap di Jelak, kemudian pindah ke Desa Drajat sekarang. Waktu membuka hutan, R. Qasim selain dibantu oleh Mbah Banjar dan para pengikut- pengikutnya konon juga dibantu secara spiritual oleh Sunan Giri. Bantuan spiritual sangat diperlukan waktu itu sebab kawasan hutan yang dibabat itu boleh jadi masih sangar dan wingit yang dipercaya, “berhawa panas” dan banyak gangguan makhluk-makhluk halus, menakutkan karena dapat mendatangkan bala bencana.
Sambil menunggu pembukaan hutan selesai, lebih kurang tiga tahun Sunan Drajat bertempat tinggal di lokasi yang sekarang menjadi Balai Desa Drajat yang terletak di bagian utara desa. Di tempat ini masih tersisa umpak yakni fondasi langgar tempat Sunan Drajat mengajar mengaji.
Setelah pembukaan hutan selesai, atas petunjuk Sunan Giri dan Mbah Banjar , R.Qasim yang kemudian bergelar Sunan Drajat memilih tempat yang sekarang termasuk kompleks makam. Tempat-ini berada di ujung tanah perbukitan paling selatan.
Tempat yang dipilih untuk rumah tempat tinggal atau padepokan beliau yang disebut ndalem dhuwur terletak di sebelah timur museum sekarang. Tempat ini sepeninggal beliau tetap kosong, tidak didirikan bangunan apapun. Tempat ini oleh anak cucunya dan masyarakat Drajat dianggap keramat. Tidak ada yang berani menempati atau mendirikan bangunan di atasnya, tetapi bila musim penghujan tanah bekas ndalem tersebut bisa ditanami jagung atau palawija.
Sebelum menetap di Drajat, R. Qosim menetap di Jelak (sebelah utaranya) selama tiga tahun. Dan menurut tradisi lisan, bahwa padepokan atau rumah tempat tinggal Sunan Drajat menghadap ke selatan, begitu pula rumah-rumah para putera dan rumah Pangeran Kepel, pendamping utamanya. Di mukanya arah ke selatan dan terletak di bawah bukit, dulu terdapat jajaran rumah yang disebut ndalem sentana (kerabat dan pelaksana pemerintahan Desa Perdikan), di sebelah barat ada rumah-rumah yang dulu disebut ndalem kaprajuritan atau rumah para prajurit penjaga keamanan. Dari tempat itu yang letaknya cukup tinggi dan pandangan diarahkan ke selatan, pandangan akan terasa indah dan menjangkau wilayah pandang yang luas atau jauh ke bawah. Sunan Drajat memilih tempat tinggal di situ dan padepokannya menghadap ke selatan, itu dibuktikan dengan adanya batu gilang sebagai alas tlundakan yang ada di bagian selatan.14 Tetapi mengapa menghadap ke selatan, padahal masjid ada di sebelah barat.
Secara tradisional, struktur perkampungan di Jawa Timur tempo dulu, umumnya memanjang dari timur ke barat dan rumah-rumah berbanjar menghadap ke utara dan selatan, amat jarang ada rumah mengadap ke timur atau barat. Apakah itu semua karena faktor kepercayaan pra-Islam yang masih bertahan15 ataukah hanya karena faktor alir angin atau faktor sinar matahari, belum diperoleh data yang sahih.
Rumah tempat tinggal Sunan Drajat diduga menghadap ke arah selatan, boleh jadi bukan karena faktor kepercayaan pra-Islam tersebut, melainkan untuk menghindari angin laut yang terlalu kuat dan sebaliknya menghadang angin dari darat yang lebih segar dan relatif konstan serta pemandangan lembah yang indah atau karena alasan keamanan, mungkin juga atau faktor lainnya.
Apabila sumber lisan dari Cirebon yang menuturkan bahwa Sunan Drajat bersama Sipat Lurung adalah tukang yang didatangkan oleh Sunan Gunung Jati untuk membangun masjid Agung (Kasepuhan) Cirebon itu benar, maka pemilihan tempat untuk padepokan Sunan Drajat dengan pintu yang menghadap ke arah selatan tersebut, dapat diduga bahwa memang dengan perhitungan dan dengan maksud .tertentu. Rumah tempat tinggal Sunan tersebut dibangun setidak-tidaknya dengan maksud agar hidup beliau sekeluarga senantiasa segar, sehat, dan resep (indah), dan aman.
Sunan Drajat mendirikan masjid agak jauh di sebelah barat rumah tempat tinggalnya agak ke utara. Beliau juga membuat sumur persegi empat di sebelah utara masjid. Masjid tidak hanya tempat melaksanakan salat berjama’ah, melainkan juga tempat mengajarkan agama Islam kepada para santri, sekaligus sebagai tempat menginap mereka. Sedangkan . sumur sebagai sarana kehidupan yang sangat vital dan prasarana ibadah-salat. Masjid dan sumur menjadi syarat terwujudnya perkampungan santri. Rumah Sunan Drajat dan masjidnya relatif dekat tidak sama dengan pola letak rumah dan masjid kompleks Sunan Giri dan Bonang yang mengikuti pola Candi Penataran di Blitar.


Pondok Pesantren Sunan Drajat adalah salah satu pondok pesantren yang memiliki nilai historis yang amat panjang karena keberadaan pesantren ini tak lepas dari nama yang disandangnya, yakni Sunan Drajat. Sunan Drajat adalah julukan dari Raden Qosim putra kedua pasangan Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dengan Nyi Ageng Manila (Putri Adipati Tuban Arya Teja). Dia juga memiliki nama Syarifuddin atau Masih Ma’unat.
Perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar dimulai tatkala dia diutus ayahandanya untuk membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu guna mengembangkan syiar Islam didaerah pesisir pantai utara Kabupaten Lamongan saat ini.
Pada tahun 1440-an ada seorang pelaut muslim asal Banjar yang mengalami musibah di pesisir pantai utara, kapal yang ditumpanginya pecah terbentur karang dan karam di laut. Adapun Sang Pelaut Banjar terdampar di tepian pantai Jelaq dan ditolong oleh Mbah Mayang Madu penguasa kampung Jelaq pada saat itu.
Melihat kondisi masyarakat Jelaq yang telah terseret sedemikian jauh dalam kesesatan, Sang Pelaut muslim itu pun terketuk hatinya untuk menegakkan sendi-sendi agama Allah. Dia pun mulai berdakwah dan mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Jelaq dan sekitarnya. Lambat-laun perjuangan Sang Pelaut yang kemudian hari lebih dikenal dengan Mbah Banjar, mulai membuahkan hasil. Apa lagi bersamaan dengan itu Mbah Mayang Madu pun turut menyatakan diri masuk Islam dan menjadi penyokong utama perjuangan Mbah Banjar.
ada suatu hari, Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu berkeinginan untuk mendirikan tempat pengajaran dan pendidikan agama agar syiar Islam semakin berkembang, namun mereka menemui kendala dikarenakan masih kurangnya tenaga edukatif yang mumpuni di bidang ilmu diniyah. Akhirnya mereka pun sepakat untuk sowan menghadap Kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta Surabaya. Gayung pun bersambut Kanjeng Sunan Ampel memberikan restu dengan mengutus putranya Raden Qosim untuk turut serta membantu perjuangan kedua tokoh tersebut. Akhirnya Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di suatu petak tanah yang terletak di areal Pondok Pesantren putri Sunan Drajat saat ini.
Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara itu untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar, maka dusun yang sebelumnya bernama kampung Jelaq, dirubah namanya menjadi Banjaranyar untuk mengabadikan nama Mbah Banjar dan anyar sebagai suasana baru di bawah sinar petunjuk Islam.
Sunan Drajat yang merupakan putra sunan ampel menjadi tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam yang ada di wilayah Lamongan. Raden Qosim atau Sunan Drajat mendirikan pondok pesantren di suatu petak tanah, terletak di areal Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat saat ini. Dia pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena do’a Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong belajar di tempat dia dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat.
Setelah beberapa lama dia berdakwah di Banjaranyar, maka Raden Qosim mengembangkan daerah dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pondok pesantren yang baru di kampung Sentono. Dia berjuang hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di belakang masjid tersebut. Kampung di mana dia mendirikan masjid dan pondok pesantren itu akhirnya dinamakan pula sebagai Desa Drajat. Sepeninggalan Sunan Drajat, tongkat estafet perjuangan dilanjutkan oleh anak cucu dia. Namun seiring dengan perjalanan waktu yang cukup panjang kebesaran nama Pondok Pesantren Sunan Drajat pun semakin pudar dan akhirnya lenyap ditelan masa. Saat itu hanyalah tinggal sumur tua yang tertimbun tanah dan pondasi bekas langgar yang tersisa. Kemaksiatan dan perjudian merajalela di sekitar wilayah Banjaranyar dan sekitarnya, bahkan areal di mana Raden Qosim mendirikan Pondok Pesantren di Banjaranyar saat itu berubah menjadi tempat pemujaan.
Setelah mengalami proses kemunduran, bahkan sempat menghilang dari percaturan dunia Islam di Pulau Jawa, pada akhirnya Pondok Pesantren Sunan Drajat kembali menata diri dan menatap masa depannya dengan rasa optimis dan tekat yang kuat. Hal ini bermula dari upaya yang dilakukan oleh anak cucu Sunan Drajat yang bercita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar. Keadaan itu pun berangsur-angsur pulih kembali saat di tempat yang sama didirikan Pondok Pesantren Sunan Drajat oleh KH. Abdul Ghofur yang masih termasuk salah seorang keturunan Sunan Drajat pada tahun 1977 yang bertujuan untuk melanjutkan perjuangan wali songo dalam mengagungkan syiar agama Allah di muka bumi.
Munculnya kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat saat ini tentu tidak terlepas dari perjalanan panjang dan perjuangan anak cucu Sunan Drajat itu sendiri. Sebagai institusi resmi dan legal, Pondok Pesantren Sunan Drajat tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan cikal bakal berdirinya pondok pesantren itu sendiri.
Di sisi lain di dalam Pondok Pesantren Sunan Drajat terdapat pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal, non formal dan in formal. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua pondok pesantren memiliki pendidikan yang mengajarkan tentang pengetahuan dan keahlian/skill secara intensif terhadap santrinya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang akademisi untuk mempelajari kembali ide-ide dasar yang muncul dan menyertai perkembangan Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Ada dua versi cerita tentang kehadiran R.Qasim di Banjar anyar yang dahulu bernama Jelak. Versi pertama menyebutkan bahwa sebelum R.Qasim datang di sini, telah datang santri Sunan Ampel di Banjaranyar dengan naik perahu, tetapi di utara perkampungan Jelak perahunya pecah oleh ombak dan ia terdampar di pantai Jelak. Ia ditolong oleh tetua Kampung Jelak, bernama Mbah2 Mayang Madu yang masih beragama Hindu. Atas seruan santri Ngampel yang di kemudian hari oleh masyarakat dipanggil Mbah Banjar, Mayang Madu bersedia memeluk agama Islam, kemudian keduanya mendirikan langgar.Keduanya bermaksud mendirikan pondok (pesantren) tetapi tidak ada pengasuh yang cakap, lalu Mbah Banjar mengajak Mbah Mayang Madu pergi ke Ngampel untuk meminta tenaga pengajar tersebut. Sunan Ampel kemudian mengutus puteranya yang bernama R.Qasim untuk mengajar masyarakat perkampungan Jelak dan sekitarnya.
Versi kedua menyebutkan bahwa R. Qasim, telah putus kajinya tentang agama Islam dan dinilai mampu untuk mengajarkannya kepada orang lain, diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk mencari tempat di pesisir utara Qresik dan Tuban. R.Qasim dari Surabaya naik perahu nelayan ke arah barat ditemani oleh lima orang nelayan. Di tengah Perjalanan perahu tersebut diterpa ombak besar, sehingga pecah dan para numpangnya terlempar ke laut. R.Qasim juga terlempar ke laut tetapi beruntung karena pada waktu itu sedang memegang dayung. Dengan dayung itu ia mampu mengambang di atas air. Pertolongan Allah datang; ia dibantu oleh ikan cucut dan ikan talang.6 Dengan bantuan ikan cucut dan ikan talang tersebut, R.Qasim selamat sampai di pantai Jelak, ia ditolong oleh tetua perkampungan nelayan Jelak.
Tentang pemilihan tempat di Jelak dan Drajat, terdapat dua versi. Versi pertama, atas permintaan Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar kepada Sunan Ampel, dan versi kedua karena kebetulan perahu R.Qasim pecah dihempas ombak, R.Qasim terdampar di Jelak.
Dua versi cerita tersebut di atas, sebenarnya tidak perlu dibicarakan. Untuk kepentingan umum yang lebih besar tidak terlihat adanya signifikansi di dalamnya; tetapi sekedar untuk mendudukkan persoalannya dalam proporsi sejarah, setidak-tidaknya untuk mengetahui cerita yang mana yang mendekati ‘kebenaran’, akan dicoba untuk ditelaah.
Dua buah naskah lama memberitakan : “Den Qasim nulya pinernah dadi imam kang pinuji, ing Lamongan lan Sedayu, Derajat dukuhaneki.,f) (R.Qasim kemudian ditugaskan menjadi imam yang terhormat di Lamongan dan Sedayu, dan Drajat sebagai tempat tinggalnya). Dari kata “pinernah dadi imam”, dapat dipahami bahwa Sunan Drajat memang sengaja oleh Sunan Ampel ditugaskan pada suatu tempat yang dipilih untuk menjadi imam. Tugas menjadi imam artinya di tempat itu sudah ada jama’ah atau komunitas muslim. Kedua naskah tersebut jelas menyebutkan kehadiran R.Qasim di Jelak terus ke Drajat itu tidak atas kehendaknya sendiri apalagi hanya sekedar kebetulan karena musibah perahu pecah.
R.Qasim bertempat tinggal di Kampung Jelak selama lebih kurang tujuh tahun, diikuti oleh lima orang nelayan yang telah bertaubat dan bersedia menjadi pengikut, pembantu, dan santrinya. Di sana ia mendirikan langgar (mushalla) sebagai tempat ibadah salat dan tempat anak-anak serta orang dewasa belajar mengaji al-Qur’an dan agama Islam.
Jelak yang semula hanya berupa perkampungan kecil tempat tinggal para nelayan, makin lama makin ramai karena banyak santri dan pendatang yang menetap, kemudian l^rubah menjadi dusun yang diberi nama Banjaranyar (Banjar yang baru atau perkampungan yang baru), sekarang menjadi salah satu dusun dari Desa Banjarwati. Di Banjaranyar ini tetua dusun Mayang Madu dan Mbah Banjar mendirikan masjid yang kemudian dikenal sebagai .masjid Gendingan.
Sebidang tanah yang dulu ditempati R.Qasim dan yang sekarang ditempati salah seorang keturunan Sunan Drajat dari isteri Mbah Kinanti, yaitu Sofiyatun isteri Farhan ( Sekretaris Desa Paloh ), dapat menjadi sisik-melik yakni salah satu pegangan awal untuk merunut keberadaan R.Qasim atau Sunan Drajat di tempat ini. Sisik-melik (jejak awal) sejarah tersebut menjadi lebih kuat dengan adanya pintu kecil yang masih dilestarikan karena alasan magis dan kekeramatan tokoh yang bersangkutan. Selain itu sisik-melik sejarah juga diperkuat dengan adanya makam yang diyakini oleh masyarakat di desa sebagai itu makam Mbah Mayang Madu. Legenda yang berkenaan langsung itu an R.Qasim tersebut yang didukung oleh bukti-bukti peninggalan yang asih ada, memberi petunjuk bahwa keberadaannya di Banjarwati dapat ? percaya dan bukan sesuatu yang fiktif.
Ricklefs lebih jauh mengungkapkan bahwa untuk dapat menjawab ertanyaan-pertanyaan tentang awal penyebaran Islam di Indonesia, ada kemungkinan orang akan berpaling dari sumber-sumber sejarah primer kepada 1 genda-legenda Indonesia yang mencatat bagaimana penduduk Indonesia sendiri menceritakan kisah pengislaman mereka. Semua legenda itu baru muncul lama sesudah kedatangan Islam. Legenda-legenda tentang cerita-cerita kuna itu baru muncul sekitar abad ke-18 dan ke-19. Legenda-legenda itu sekalipun bukanlah catatan-catatan sejarah yang sepenuhnya dapat dipercaya, tetapi karena adanya titik berat yang merata atau kesamaan yang kuat dari para penyebar Islam yang pertama dengan peran-peran yang dimainkannya lewat pengetahuan gaib dan kekuatan-kekuatan magis, serta koneksitas pedagang- ulama pada proses pengislaman (a process of conversion), maka legenda-leganda itu dapat mengungkapkan (reveal) suatu kejadian yang sebenarnya.12
Legenda berupa dongeng yang sering mengandung maksud atau suatu peristiwa tertentu tetapi umumnya terselubung atau tersamar, maka untuk memahaminya terkadang diperlukan interpretasi-interpretasi tertentu.

Makna Legenda dan Perlambang
R.Qasim pertama kali datang dan menetap di Jelak, kemudian pindah ke Desa Drajat sekarang. Waktu membuka hutan, R. Qasim selain dibantu oleh Mbah Banjar dan para pengikut- pengikutnya konon juga dibantu secara spiritual oleh Sunan Giri. Bantuan spiritual sangat diperlukan waktu itu sebab kawasan hutan yang dibabat itu boleh jadi masih sangar dan wingit yang dipercaya, “berhawa panas” dan banyak gangguan makhluk-makhluk halus, menakutkan karena dapat mendatangkan bala bencana.
Sambil menunggu pembukaan hutan selesai, lebih kurang tiga tahun Sunan Drajat bertempat tinggal di lokasi yang sekarang menjadi Balai Desa Drajat yang terletak di bagian utara desa. Di tempat ini masih tersisa umpak yakni fondasi langgar tempat Sunan Drajat mengajar mengaji.
Setelah pembukaan hutan selesai, atas petunjuk Sunan Giri dan Mbah Banjar , R.Qasim yang kemudian bergelar Sunan Drajat memilih tempat yang sekarang termasuk kompleks makam. Tempat-ini berada di ujung tanah perbukitan paling selatan.
Tempat yang dipilih untuk rumah tempat tinggal atau padepokan beliau yang disebut ndalem dhuwur terletak di sebelah timur museum sekarang. Tempat ini sepeninggal beliau tetap kosong, tidak didirikan bangunan apapun. Tempat ini oleh anak cucunya dan masyarakat Drajat dianggap keramat. Tidak ada yang berani menempati atau mendirikan bangunan di atasnya, tetapi bila musim penghujan tanah bekas ndalem tersebut bisa ditanami jagung atau palawija.
Sebelum menetap di Drajat, R. Qosim menetap di Jelak (sebelah utaranya) selama tiga tahun. Dan menurut tradisi lisan, bahwa padepokan atau rumah tempat tinggal Sunan Drajat menghadap ke selatan, begitu pula rumah-rumah para putera dan rumah Pangeran Kepel, pendamping utamanya. Di mukanya arah ke selatan dan terletak di bawah bukit, dulu terdapat jajaran rumah yang disebut ndalem sentana (kerabat dan pelaksana pemerintahan Desa Perdikan), di sebelah barat ada rumah-rumah yang dulu disebut ndalem kaprajuritan atau rumah para prajurit penjaga keamanan. Dari tempat itu yang letaknya cukup tinggi dan pandangan diarahkan ke selatan, pandangan akan terasa indah dan menjangkau wilayah pandang yang luas atau jauh ke bawah. Sunan Drajat memilih tempat tinggal di situ dan padepokannya menghadap ke selatan, itu dibuktikan dengan adanya batu gilang sebagai alas tlundakan yang ada di bagian selatan.14 Tetapi mengapa menghadap ke selatan, padahal masjid ada di sebelah barat.
Secara tradisional, struktur perkampungan di Jawa Timur tempo dulu, umumnya memanjang dari timur ke barat dan rumah-rumah berbanjar menghadap ke utara dan selatan, amat jarang ada rumah mengadap ke timur atau barat. Apakah itu semua karena faktor kepercayaan pra-Islam yang masih bertahan15 ataukah hanya karena faktor alir angin atau faktor sinar matahari, belum diperoleh data yang sahih.
Rumah tempat tinggal Sunan Drajat diduga menghadap ke arah selatan, boleh jadi bukan karena faktor kepercayaan pra-Islam tersebut, melainkan untuk menghindari angin laut yang terlalu kuat dan sebaliknya menghadang angin dari darat yang lebih segar dan relatif konstan serta pemandangan lembah yang indah atau karena alasan keamanan, mungkin juga atau faktor lainnya.
Apabila sumber lisan dari Cirebon yang menuturkan bahwa Sunan Drajat bersama Sipat Lurung adalah tukang yang didatangkan oleh Sunan Gunung Jati untuk membangun masjid Agung (Kasepuhan) Cirebon itu benar, maka pemilihan tempat untuk padepokan Sunan Drajat dengan pintu yang menghadap ke arah selatan tersebut, dapat diduga bahwa memang dengan perhitungan dan dengan maksud .tertentu. Rumah tempat tinggal Sunan tersebut dibangun setidak-tidaknya dengan maksud agar hidup beliau sekeluarga senantiasa segar, sehat, dan resep (indah), dan aman.
Sunan Drajat mendirikan masjid agak jauh di sebelah barat rumah tempat tinggalnya agak ke utara. Beliau juga membuat sumur persegi empat di sebelah utara masjid. Masjid tidak hanya tempat melaksanakan salat berjama’ah, melainkan juga tempat mengajarkan agama Islam kepada para santri, sekaligus sebagai tempat menginap mereka. Sedangkan . sumur sebagai sarana kehidupan yang sangat vital dan prasarana ibadah-salat. Masjid dan sumur menjadi syarat terwujudnya perkampungan santri. Rumah Sunan Drajat dan masjidnya relatif dekat tidak sama dengan pola letak rumah dan masjid kompleks Sunan Giri dan Bonang yang mengikuti pola Candi Penataran di Blitar.

0 komentar:

Posting Komentar